Advertisement
Habib Rizieq Shihab (Ist) |
MEJAHIJAU.NET, Bandung - Dalam waktu dekat ini Imam besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab akan ditetapkan statusnya sebagai tersangka dalam kasus dugaan penodaan lambang negara. Masih perlu sedikit pendalaman dan pengumpulan bukti-bukti.
Demikian disampaikan Kapolda Jawa Barat, Irjen Pol Anton Charliyan di Mapolda Jabar, Jumat 13 Januari 2017.
"Masih dilakukan pendalaman. Dan kita sedang melengkapi bukti-bukti lain. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini yang bersangkutan akan dijadikan tersangka" ucap Anton.
Habib Rizieq dilaporkan Sukmawati Soekarnoputri ke Polda Jabar atas dugaan penodaan terhadap lambang negara Pancasila dengan barang bukti sebuah video ceramahnya di Kota Bandung.
Namun, Rizieq membantah telah melakukan penghinaan kepada Pancasila, dan juga menyatakan video ceramahnya yang dijadikan barang bukti, bukanlah video yang asli, tetapi hasil editan.
"Saya tidak menghina Pancasila, dan itu video editan," kata Rizieq di Mapolda Jabar usai diperiksa, Kamis (12/1).
Anton membantah video tersebut sebagai video editan karena barang bukti telah diperiksa ke Labfor Polri, kata Anton.
"Ceramah itu berdurasi 1 jam lebih, jadi yang kita tunjukan yang intinya saja," jelas Anton.
Anton menilai Rizieq tidak kooperatif selama pemeriksaan, dan salah satunya adalah soal tuduhan bahwa video yang diajukan kepadanya sebagai video editan.
"Tapi kita juga sudah periksa 10 orang saksi yang menyaksikan langsung ceramahnya, nanti akan kita konfrontir." kata Anton.
Hasil pemeriksaan selama 6 jam kemarin, kata Anton, Rizieq dapat dijerat dengan pasal 30 dan pasal 154 KUHP tentang penodaan lambang negara,
Pasal 154 KUHP berbunyi: "Barang siapa di muka umum menyatakan pernyataan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap pemerintah Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 4.500".
Pasal 154 Telah Dicabut MK
Namun, apakah Kapolda belum mengetahui bahwa pasal 154 KUHP, bersama dengan Pasal 155 KUHP telah dinyatakan dicabut dan tidak lagi berkekuatan hukum lewat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2007,yakni Putusan MK: No. 06/PUU-V/2007.
MK dalam amar putusanya menyatakan, "Ketentuan pasal 154 dan 155 KUHP, tidak menjamin adanya kepastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945".
Sebagai konsekuensinya, kedua pasal itu dinilai secara tidak proporsional menghalangi kemerdekaan untuk menyatakan pikiran dan sikap serta kemerdekaan menyampaikan pendapat.
MK menyatakan pasal 154 dan 155 KUHP tidak rasional karena seorang warga negara dari sebuah negara merdeka dan berdaulat tidak mungkin memusuhi negara dan pemerintahannya sendiri yang merdeka dan berdaulaut, kecuali dalam hal makar.
Selanjutnya MK menuturkan bahwa, Menteri Kehakiman Belanda pun saat menyusun KUHP Belanda pada abad ke-19 secara terang-terangan telah menyatakan penolakan terhadap usul memasukkan ketentuan pasal penyebaran pencemaran terhadap pemerintah, karena ketentuan tersebut dipandang tidak demokratis dan bertentangan dengan gagasan kemerdekaan berekspresi dan beropini sehingga hanya dapat ditoleransi untuk diberlakukan di daerah jajahan.
Pertimbangan MK selanjutnya mengatakan, "Dengan demikian, nyatalah bahwa ketentuan pasal 154 dan 155 KUHP, menurut sejarahnya, memang dimaksudkan untuk menjerat tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan di Hindia Belanda,".
.bas/me