Advertisement
Ketua MUI, KH Ma'ruf Amin diapit, sebelah kiri Aa Gym dan Kapolri Tito Karnavian, sebelah kanan Habib Rizieq Shihab dan Ustadz Bachtiar Nasir |
MEJAHIJAU.net, Jakarta - Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukanlah lembaga negara tetapi hanyalah sebuah lembaga organisasi masyarakat (Ormas) keagamaan dan oleh karenanya tidak punya otoritas mengeluarkan fatwa yang bersifat resmi, positip dan mengikat.
Ke depan, pemberian dan pengeluaran fatwa oleh MUI harus melalui Kementerian Agama.
Demikian disampaikan Pimpinan Pondok Pesantren Soko Tunggal, KH Nuril Arifin Husein (Gus Nuril) mengkritisi Fatwa MUI tertanggal 10 Oktober 2016 yang menyatakan apa yang dikatakan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu pada 27 September 2016, sebagai tindakan penistaan Al-Quran dan penghinaan atas Ulama dan umat Islam.
Menyusul pengeluaran fatwa tersebut, kemudian dideklarasikan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI), yang memobilisasi Aksi Bela Islam pada 4 November dan 2 Desember 2016.
"MUI itu hanya sekadar ormas. Jadi, jika MUI ingin fatwanya menjadi resmi maka harus melalui dan mendapat persetujuan atau restu dari Kementeraian Agama, " kata Gus Nuril, di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur, Senin (9/1).
Jika setiap organisasi atau ormas boleh mengeluarkan fatwa, dan dianggap hukum positip, hal tersebut sangat berbahaya.
"Nanti tiap ormas keluarin fatwa. Kalau begitu, saya juga bisa keluarkan fatwa, dong" kata Gus Nuril.
Dia mengingatkan, fatwa dikeluarkan MUI hanya diperuntukkan kepada pengikutnya. Sehingga tidak ada kewajiban untuk memaksa umat lain memegang teguh fatwa tersebut.
"Tetapi saya mau tanya, MUI itu rakyatnya siapa? Emang sudah ada pemilihan umum atau referendum yang didukung rakyat Indonesia? Kan enggak. Enggak punya rakyat kok mau punya tentara sendiri, kan enggak boleh," sindir murid almarhum Gus Dur ini.
Mensitakan Dialog
Sementara itu Sekjen ANCaR (Aliansi Nasional Cendikiawan Akar Rumput), Ebit Rizal, mengatakan MUI sebagai organisasi keagamaan seharusnya dapat tampil dengan semangat keilmuan dengan mengembangkan dialog dalam menanggapi kasus Ahok.
"Jika Ahok disebut menista agama (Islam), dengan fatwa tersebut serta aksi-aksi ikutanya, MUI malah telah menistakan dialog," tegas Ebit.
Jika dari awal semangat dialog dikembangkan, bukan saja hal tersebut menghadirkan pencerahan kepada umat dan bangsa Indonesia pada umumnya, tetapi juga menghindarkan fragmentasi masyarakat di tingkat akar rumput.
"Akibat aksi kemarin (411 dan 212), keterbelahan bukan saja terjadi antara kaum muslimin dengan non muslimin. Tetapi di kalangan muslim sendiri juga terjadi," ungkap Ebit.
Ebit mensinyalir, gagasan untuk mendirikan Dewan Kerukunan Nasional yang disampaikan pemerintah baru-baru ini, adalah bagian dari dialektika dalam kehidupan berbangsa, yang memandang bangsa Indonesia adalah bangsa yang mengedepankan dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul.
.tn