Advertisement
MEJAHIJAU.NET, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) No 72 tahun 2016 tentang Perubahan PP No 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.
Penandatangan dilakukan pada akhir tahun yakni pada 30 Desember 2016.
Penerbitan PP menuai kritik kalangan anggota dewan di Senayan. Pasalnya, dengan PP tersebut pemerintah telah memperlihatkan langkah-langkah politisnya untuk meninggalkan parlemen dalam pengelolaan BUMN.
Perubahan yang sangat signifikan dari PP ini adalah terletak pada pasal sisipan, yakni pasal 2 A, yang terletak antara pasal 2 dan pasal 3.
Pasal 2A tersebut berbunyi:
"Penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau perseroan terbatas sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) huruf d kepada BUMN atau perseroan terbatas lain dilakukan Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapat dan Belanja Negara".
Menanggapi penerbitan PP No 72 tahun 2017 tersebut, Anggota Komisi VI DPR RI, Zulfan Lindan, mengingatkan bahwa BUMN bukanlah milik pemerintah, melainkan milik negara.
"Selama ini ada anggapan pada pemerintah bahwa BUMN hanyalah milik pemerintah. Milik Presiden, milik menteri atau seluruh kabinet. Bukan. Tapi ini milik rakyat, milik negara," ungkap Zulfan di Jakarta, Sabtu, 14 Januari 2017.
Oleh karena itu, DPR yang merupakan representasi dari rakyat tidak bisa ditinggalkan, tetapi haruslah dilibatkan dalam hal pengelolaan BUMN, mulai dari perencanaan, dan mengawasi pelaksanaanya.
Pokoknya, yang menyangkut Penyertaan Modal Negara, baik pengalihan saham dan lain-lain harus atas dasar pengawasan dewan dan dibicarakan dengan DPR, terlebih dahulu, tandan zulfan.
Peraturan Berbahaya
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR, Inas Nasrullah Zubir, menilai PP No 72 tahun 2017 adalah peraturan yang sangat berbahaya, sebab bisa terjadi pemindahtanganan aset BUMN kepada pihak lain atau bahkan pihak asing, tanpa sepengetahuan DPR.
"Peraturan ini sangat berbahaya," tegas Inas ketika dihubungi di Jakarta Sabtu (14/1).
Inas memberikan contoh, perusahaan seperti Pertamina yang merupakan BUMN bisa saja dialihkan ke perusahaan asing dengan mekanisme penyertaan modal negara.
"Bisa saja aset Negara di Pertamina dijadikan penyertaan modal Negara di PT Chevron Indonesia. Ini berarti terjadi pemindahan aset negara ke perusahaan asing, ini jelas berbahaya," jelas Inas.
Penyertaan Modal Negara (PMN) tanpa mekanisme APBN, sambung Inas, berarti pemerintah bisa memberikan suntikan modal ke perusahaan asing atau swasta lainnya, tambahnya.
"Ini jelas menabrak UU nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN," tegasnya.
Judicial Review
Pandangan yang sama, yakni PP N0 72 tahun 2017 ini sebagai peraturan yang berbahya bagi keamanan aset dan kekayaan negara, juga dikemukakan pengamat kebijakan publik Agus Pambagio,
Menurutnya, PP Nomor 72 Tahun 2016, yang baru diterbitkan, bertentangan dengan UU No 17 Tahun 2003 tentang Kekayaan Negara.
"PP ini bertentangan dengan UU, sehingga mesti di-judicial review ke Mahkamah Agung dalam 90 hari sejak pemberlakuannya," katanya.
Menurut dia, pasal sisipan dalam PP ini yakni, Pasal 2A jelas dimasukan agar penyertaan modal negara baik berupa saham milik negara pada BUMN atau perseroan terbatas kepada BUMN atau perseroan terbatas lain dilakukan agar bisa dilakukan pemerintah pusat tanpa melalui mekanisme APBN. Dilakukan tanpa pelibatan DPR.
"Aturan ini berbahaya, sebab saham BUMN yang dimiliki negara dapat berpindah tangan tanpa lewat DPR. Ini seperti melego Indosat yang ketika itu tanpa persetujuan DPR," kata Agus.
Sementara, tambah Agus, UU 17 Tahun 2003 tentang Kekayaan Negara mengamanatkan, terhadap segala saham yang masuk dalam kekayaan negara, maka pengambilalihan ataupun perubahan status kepemilikannya harus persetujuan DPR.
"Dan bila dari APBN, maka harus melalui persetujuan DPR," tambahnya.
Holding
Catatan tambahan atas terbitnya PP No 72 Tahun 2017 ini diberikan Sekjen ANCaR (Aliansi Nasional Cendikiawan Akar Rumput), Ebit Rizal, dia mengatakan, penyertaan dan penatausahaan modal negara pada BUMN ataupun PT, eksekusinya akan dilakukan oleh sebuah holding BUMN, yang pendirianya telah difasilitas oleh PP No 72 tahun 2017.
"Jadi holding tersebut nanti yang akan melakukan kerja-kerja pengawasan, selain melakukan kajian yang bersifat strategis dalam pengembangan dan ekspansi bisnis BUMN," kata Ebit.
Ebit menambahkan, memang selama ini BUMN selaku mitra kerja DPR, selalu mengalami dilema ketika berhadapan dengan kepentingan-kepentingan politik di DPR, sehingga lewat PP tersebut difasilitasilah pembentukan sebuah holding BUMN, bukan saja untuk menghilangkan dilema tersebut, tetapi juga demi efisiensi kerja, karena dalam bisnis, perhitungan soal waktu sangat penting.
Pikiran untuk melakukan juducial review atas PP No 72 tahun 2017, menurut Ebit adalah salah satu cara untuk mencegah hegemoni pemerintah atas BUMN.
Namun demikian, menurut dia, ada baiknya, jika masyarakat terutama DPR lebih fokus kepada pengawalan pembentukan Holding BUMN yang segera dibentuk menyusul diterbitkanya PP tersebut, agar dapat dipastikan struktur dan kelembagaan holding yang dibentuk itu semata-mata ditujukan bagi tujuan-tujuan pensejahteraan rakyat melalui BUMN.
"Ada baiknya kita kawal pembentukan holding BUMN tersebut, karena disanalah kuncinya nantinya," ucapnya.
.tn