Advertisement
Para antropologmemberikan keterangan pers usai bertemu Presiden Jokowi di Istana Negara, Senin (16//1). (Dok: Sekneg) |
MEJAHIJAU.NET, Jakarta - Para Antropolog dari berbagai kampus mendatangi Presiden di Istana Negara, menyampaikan isu sensitif mutakhir yang menghadirkan gonjang-ganjing politik di tanah air belakangan ini yaitu, masalah penistaan agama.
Rombongan Antropolog itu dipimpin Yando Zakaria, turut hadir dalam dialog tersebut Antropolog dari Universitas Indonesia, Amri Marzali, P.M. Laksono dari Universitas Gadjah Mada, dan ahli antropologi ekonomi Kartini Sjahrir Pandjaitan.
Para Antropolog kepada Presiden menyatakan bahwa pasal-pasal mengenai penistaan agama sudah tidak relevan. Yando Zakaria, mengatakan pasal dan undang-undang yang mengatur penistaan agama lebih banyak disalahgunakan.
"Dari perspektif antropologi sangat relatif dan bisa berbahaya ketika dipolitisasi," kata Yando kepada pers usai bertemu presiden di Istana Negara usai, Jakarta, Senin, 16 Januari 2017.
Yando mengatakan, pasal penistaan agama cenderung dipakai untuk menghakimi keyakinan pemeluk agama lain. Tentu masalahnya menjadi sensitif, padahal keyakinan merupakan persoalan keimanan setiap pemeluk agama.
Karena itu, kata dia, atas perilaku tertentu, negara tidak bisa memberikan label sebagai penistaan agama.
"Dari segi keimanan, tidak ada yang salah. Tapi, dari segi sosial-politik, itu problem," ujarnya.
Untuk itu, Yando menambahkan, pihaknya akan mengajukan uji materi atau judicial review terhadap pasal dan undang-undang yang mengatur penistaan agama, karena pasal-pasal tersebut dianggap pasal karet.
"Pasal penistaan agama adalah pasal yang sangat liar dan bisa digunakan oleh siapa saja dalam konteks agama," tuturnya.
Pada negara-negara demokrasi, umumnya aturan mengenai penistaan agama sudah dicabut. Indonesia, adalah sedikit negara demokrasi yang masih menerapkan delik tersebut.
.tn