Advertisement
Menurut Cak Ta’in, begitu
panggilannya, ada yang aneh dalam proses hukum pidana yang dituduhkan kepada
Anton. Ada beberapa kejanggalan yang ditemukan dalam penanganan kasus tersebut.
Kasus pidana yang diproses bersamaan dengan proses kasus gugatan perdata
terhadap objek yang sama. Adanya kejanggalan dalam proses laporan, penyelidikan
dan penyidikan sampai kemudian kasusnya dinyatakan P21, yang semua prosesnya
dilakukan setelah putusan PN Tanjungpinang atas Perkara Perdata kasus yang sama
nomor 42/PDT.G/2014 tertanggal 13 November 2014 yang menyatakan penggugat kalah
dan harus membayar tuntutan tergugat. Dalam proses perdata itu, Dirut. PT.
Gandasari membuat laporan dugaan pidana penggelapan bauksit di lokasi
PT. Lobindo yang menurut pengakuannya sudah dibeli dari PT. Lobindo. Laporan tersebut
awalnya diproses namun kemudian digantung tanpa kejelasan, SP3 tidak dilakukan
- proses juga tidak dilanjutkan.
Dalam proses itu, tergugat
melakukan rekonvensi (tuntutan balik terhadap PT. Gandasari) dengan enam poin
tuntutan membayar fee kepada PT. Lobindo sesuai perjanjian, membayar royalty,
jaminan reklamasi, CSR, denda Devisa Hasil Ekspor, dan membayar PBB kepada
pemerintah. Intinya, PN Tanjungpinang hanya memerintahkan Penggugat PT.
Gandasari membayar fee kepada PT. Lobindo sebesar Rp. 25 miliar, yang akhirnya
tergugat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Pekanbaru dengan tuntutan
yang sama.
Di tengah menunggu proses
putusan banding tersebut, Acok kembali membuat laporan pidana dugaan
penggelapan pembelian lahan di lokasi PT. Lobindo tertanggal 2 Mei 2015. Anton
menerima surat panggilan untuk menghadap ke Polres Tanjungpinang pada tanggal 4
Mei 2015, namun yang terjadi tanggal 2 mei 2015 itu juga Anton dijemput paksa
dan langsung ditahan meski hanya satu hari kemudian dilepaskan, tetapi keesokan
berkas sudah dilimpahkan ke Kejaksaan dan langsung P21.
“Kami sudah melihat
berkas-berkasnya, kronologis dan proses peradilan yang sedang berlangsung.
Sementara kami membuat kesimpulan ada dugaan mal praktek hukum dan peradilan
dalam kasus ini. Ada indikasi pemutarbalikan fakta hukum. Mestinya pelapor yang
dilaporkan oleh terlapor. Tapi untuk kesimpulannya, kami akan membahasnya
terlebih dahulu dengan tim.” Jelas Cak Ta’in kepada wartawan kemarin di Batam
Center.
Lebih lanjut Cak Ta’in
menjelaskan, kasus tersebutpun disidangkan oleh PN Tanjungpinang yang akhirnya
membuat Putusan Sela yang intinya menghentikan proses persidangan karena kasus
dengan objek yang sama sedang menunggu proses hukum perdatanya selesai. JPU
tidak puas dengan putusan sela tersebut mengajukan banding ke PT Pekanbaru,
yang diputusakan dengan memerintahkan kepada majelis hakim PN Tanjungpinang
untuk mengembalikan berkas perkara pidana. “Artinya kasus ini harus dihentikan
dan tidak layak disidangkan alias NO. Ini yang menjadi pertanyaan besar ada apa
dengan penegak hukum kita ini? Mengapa mereka melanjutkan persidangan sementara
perintah Pengadilan Tinggi disuruh kembalikan berkas ke jaksa, ” ujar Cak
Ta’in.
Dilanjutkan Cak Ta’in, PT.
Pekanbaru memutuskan banding tergugat Anton mengabulkan semua tuntutan
Rekonpensi pemohon dengan nomor 59/PDT/2015/PT.PBR tertanggal 03 Juni 2015.
Intinya PT. Gandasari diperintahkan membayar fee kepada PT. Lobindo, dan
membayar tanggung jawab ke negara royalty, jaminan reklamasi, CSR dan PBB
dengan total nilai Rp. 132 miliar yang belum dieksekusi.
Acok tidak bisa menerima
putusan PT. Pekanbaru tersebut dan mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung RI
dengan putusan nomor 2961/K/PDT/2015 tertanggal 11 Mei 2016 yang menolak kasasi
penggugat dan menguatkan putusan banding PT. Pekanbaru, bahwa PT. Gandasari
Resource membayar Rp. 132 miliar untuk enam poin rekonvensi tergugat Anton
selaku Dirut. PT. Lobindo.
“Sebenarnya kalau harus
diceritakan kronologis dari awal perjanjian kerjasama sampai terjadinya
perselisihan ini akan sangat panjang. Itu ada di sisi yang lain. Yang
terpenting penekanan terhadap upaya PN Tanjungpinang melaksanakan putusan
kasasi MA tersebut yang telah memberikan teguran dua kali kepada Dirut. PT.
Gandasari. Pengadilan harus melakukan upaya paksa terhadap yang bersangkutan
dan dapat menahannya. “ terangnya.
Cak Ta’in menangkap ada upaya
pengaburan dan penghilangan terhadap kewajiban atau perintah putusan MA
tersebut dengan memaksakan kasus tersebut di persidangan. Saksi ahli yang
dihadirkan sama-sama menyatakan bahwa kasus pidana harus dihentikan jika
bersamaan dengan kasus perdata sampai perdatanya selesai. “Namun mengapa ini
tetap dipaksakan diteruskan proses persidangannya? Ada apa dengan jaksa dan
hakim terkait kasus tersebut? mestinya dengan putusan MA tersebut, kasus
dihentikan sebab secara aktualisasi bukti secara perdata sudah mendapatkan
kekuatan hukum…!” tegasnya.
“Coba bayangkan kalau kemudian
majelis hakim memenangkan tuntutan JPU dan menghukum terdakwa Anton dengan
menggunakan bukti-bukti yang sama, yang sebelumnya sudah dijadikan dasar
putusan hukum perdata, kemudian bisa membuat putusan yang sebaliknya. Ini bakal
kacau dan mengacaukan. Kami yakin jaksa dan majelis hakim bukan tidak tahu soal
ini!” tambah Cak Ta’in.
Kalau itu terjadi kemudian
terdakwa Anton hampir pasti akan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, dan
kalau perlu sampai ke tingkat kasasi di MA. Pertanyaannya, apa mungkin Hakim
Agung MA akan membuat keputusan yang berbeda dengan kasus perdata yang
menggunakan bukti-bukti yang sama. Proses peradilan tersebut dinilai Cak Ta’in
hanya suatu kesia-siaan dan sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan, kalau
tidak boleh dibilang ada suatu konspirasi hukum terhadap Anton. “Hukum tidak boleh
digunakan untuk mendzolimi seseorang siapapun itu!”
Cak Ta’in mengingatkan, hakim
itu wakil Tuhan di dunia ini dan juga perwakilan dari negara untuk memberikan
keadilan hukum positif terhadap manusia. “Jika mereka tidak amanah sebagai
wakil Tuhan tersebut, yakinlah Tuhan yang akan menghukum mereka cepat atau
lambat..!”
Untuk itu, lanjut Cak Ta’in,
pihaknya akan melakukan upaya-upaya yang dapat dilakukan dan menjadi rananya
LSM. “Kami akan segera mempersiapkan surat resmi kepada pihak-pihak terkait
yang bisa lebih memberikan rasa keadilan, Komisi Kejaksaan, Jam Was, dan
Pengawas Hakim di MA maupun Komisi Yudisial. Bisa juga dengan aksi-aksi lainnya.
Kita lihat sajalah bagaimana perkembangannya! ” pesannya mengakhiri.
Brs
Brs