30 January 2017, 00:11 WIB
Last Updated 2021-07-10T10:27:33Z
AKTIVISHeadlineKETUK PALUKORUPSIMeja HijauPENGACARA

Polisi dan Jaksa Diduga Mal Hukum dalam Kasus Pidana Dirut PT. Lobindo Nusa Persada

Advertisement
MEJAHIJAU.NET, Batam - Proses Hukum Pidana dugaan penggelapan bauksit yang didakwakan kepada Direktur Utama PT. Lobindo Nusa Persada dengan terdakwa Yon Fredy alias Anton atas laporan Dirut. PT. Gandasari Resource, Hariadi alias Acok, yang bakal memasuki episode penyampaian tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Negeri (PN) Tanjungpinang pekan ini telah menarik perhatian aktivis LSM Kelompok Diskusi Anti 86 (Kodat 86) melalui Ketua Presidiumnya Ta’in Komari, SS. Dia mengindikasikan ada mal praktek hukum dalam kasus tersebut mulai dari pelaporan, penyelidikan dan penyididkan di kepolisian, kejaksaan dan proses persidangan di PN Tanjungpinang. Minggu (29/1/17).

Menurut Cak Ta’in, begitu panggilannya, ada yang aneh dalam proses hukum pidana yang dituduhkan kepada Anton. Ada beberapa kejanggalan yang ditemukan dalam penanganan kasus tersebut. Kasus pidana yang diproses bersamaan dengan proses kasus gugatan perdata terhadap objek yang sama. Adanya kejanggalan dalam proses laporan, penyelidikan dan penyidikan sampai kemudian kasusnya dinyatakan P21, yang semua prosesnya dilakukan setelah putusan PN Tanjungpinang atas Perkara Perdata kasus yang sama nomor 42/PDT.G/2014 tertanggal 13 November 2014 yang menyatakan penggugat kalah dan harus membayar tuntutan tergugat. Dalam proses perdata itu, Dirut. PT. Gandasari membuat laporan dugaan pidana penggelapan bauksit di lokasi PT. Lobindo yang menurut pengakuannya sudah dibeli dari PT. Lobindo. Laporan tersebut awalnya diproses namun kemudian digantung tanpa kejelasan, SP3 tidak dilakukan - proses juga tidak dilanjutkan.

Dalam proses itu, tergugat melakukan rekonvensi (tuntutan balik terhadap PT. Gandasari) dengan enam poin tuntutan membayar fee kepada PT. Lobindo sesuai perjanjian, membayar royalty, jaminan reklamasi, CSR, denda Devisa Hasil Ekspor, dan membayar PBB kepada pemerintah. Intinya, PN Tanjungpinang hanya memerintahkan Penggugat PT. Gandasari membayar fee kepada PT. Lobindo sebesar Rp. 25 miliar, yang akhirnya tergugat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Pekanbaru dengan tuntutan yang sama.

Di tengah menunggu proses putusan banding tersebut, Acok kembali membuat laporan pidana dugaan penggelapan pembelian lahan di lokasi PT. Lobindo tertanggal 2 Mei 2015. Anton menerima surat panggilan untuk menghadap ke Polres Tanjungpinang pada tanggal 4 Mei 2015, namun yang terjadi tanggal 2 mei 2015 itu juga Anton dijemput paksa dan langsung ditahan meski hanya satu hari kemudian dilepaskan, tetapi keesokan berkas sudah dilimpahkan ke Kejaksaan dan langsung P21.

“Kami sudah melihat berkas-berkasnya, kronologis dan proses peradilan yang sedang berlangsung. Sementara kami membuat kesimpulan ada dugaan mal praktek hukum dan peradilan dalam kasus ini. Ada indikasi pemutarbalikan fakta hukum. Mestinya pelapor yang dilaporkan oleh terlapor. Tapi untuk kesimpulannya, kami akan membahasnya terlebih dahulu dengan tim.” Jelas Cak Ta’in kepada wartawan kemarin di Batam Center.

Lebih lanjut Cak Ta’in menjelaskan, kasus tersebutpun disidangkan oleh PN Tanjungpinang yang akhirnya membuat Putusan Sela yang intinya menghentikan proses persidangan karena kasus dengan objek yang sama sedang menunggu proses hukum perdatanya selesai. JPU tidak puas dengan putusan sela tersebut mengajukan banding ke PT Pekanbaru, yang diputusakan dengan memerintahkan kepada majelis hakim PN Tanjungpinang untuk mengembalikan berkas perkara pidana. “Artinya kasus ini harus dihentikan dan tidak layak disidangkan alias NO. Ini yang menjadi pertanyaan besar ada apa dengan penegak hukum kita ini? Mengapa mereka melanjutkan persidangan sementara perintah Pengadilan Tinggi disuruh kembalikan berkas ke jaksa, ” ujar Cak Ta’in.

Dilanjutkan Cak Ta’in, PT. Pekanbaru memutuskan banding tergugat Anton mengabulkan semua tuntutan Rekonpensi pemohon dengan nomor 59/PDT/2015/PT.PBR tertanggal 03 Juni 2015. Intinya PT. Gandasari diperintahkan membayar fee kepada PT. Lobindo, dan membayar tanggung jawab ke negara royalty, jaminan reklamasi, CSR dan PBB dengan total nilai Rp. 132 miliar yang belum dieksekusi.

Acok tidak bisa menerima putusan PT. Pekanbaru tersebut dan mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung RI dengan putusan nomor 2961/K/PDT/2015 tertanggal 11 Mei 2016 yang menolak kasasi penggugat dan menguatkan putusan banding PT. Pekanbaru, bahwa PT. Gandasari Resource membayar Rp. 132 miliar untuk enam poin rekonvensi tergugat Anton selaku Dirut. PT. Lobindo.

“Sebenarnya kalau harus diceritakan kronologis dari awal perjanjian kerjasama sampai terjadinya perselisihan ini akan sangat panjang. Itu ada di sisi yang lain. Yang terpenting penekanan terhadap upaya PN Tanjungpinang melaksanakan putusan kasasi MA tersebut yang telah memberikan teguran dua kali kepada Dirut. PT. Gandasari. Pengadilan harus melakukan upaya paksa terhadap yang bersangkutan dan dapat menahannya. “ terangnya.

Cak Ta’in menangkap ada upaya pengaburan dan penghilangan terhadap kewajiban atau perintah putusan MA tersebut dengan memaksakan kasus tersebut di persidangan. Saksi ahli yang dihadirkan sama-sama menyatakan bahwa kasus pidana harus dihentikan jika bersamaan dengan kasus perdata sampai perdatanya selesai. “Namun mengapa ini tetap dipaksakan diteruskan proses persidangannya? Ada apa dengan jaksa dan hakim terkait kasus tersebut? mestinya dengan putusan MA tersebut, kasus dihentikan sebab secara aktualisasi bukti secara perdata sudah mendapatkan kekuatan hukum…!” tegasnya.

“Coba bayangkan kalau kemudian majelis hakim memenangkan tuntutan JPU dan menghukum terdakwa Anton dengan menggunakan bukti-bukti yang sama, yang sebelumnya sudah dijadikan dasar putusan hukum perdata, kemudian bisa membuat putusan yang sebaliknya. Ini bakal kacau dan mengacaukan. Kami yakin jaksa dan majelis hakim bukan tidak tahu soal ini!” tambah Cak Ta’in.

Kalau itu terjadi kemudian terdakwa Anton hampir pasti akan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, dan kalau perlu sampai ke tingkat kasasi di MA. Pertanyaannya, apa mungkin Hakim Agung MA akan membuat keputusan yang berbeda dengan kasus perdata yang menggunakan bukti-bukti yang sama. Proses peradilan tersebut dinilai Cak Ta’in hanya suatu kesia-siaan dan sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan, kalau tidak boleh dibilang ada suatu konspirasi hukum terhadap Anton. “Hukum tidak boleh digunakan untuk mendzolimi seseorang siapapun itu!”

Cak Ta’in mengingatkan, hakim itu wakil Tuhan di dunia ini dan juga perwakilan dari negara untuk memberikan keadilan hukum positif terhadap manusia. “Jika mereka tidak amanah sebagai wakil Tuhan tersebut, yakinlah Tuhan yang akan menghukum mereka cepat atau lambat..!”

Untuk itu, lanjut Cak Ta’in, pihaknya akan melakukan upaya-upaya yang dapat dilakukan dan menjadi rananya LSM. “Kami akan segera mempersiapkan surat resmi kepada pihak-pihak terkait yang bisa lebih memberikan rasa keadilan, Komisi Kejaksaan, Jam Was, dan Pengawas Hakim di MA maupun Komisi Yudisial. Bisa juga dengan aksi-aksi lainnya. Kita lihat sajalah bagaimana perkembangannya! ” pesannya mengakhiri.

Brs