Advertisement
Ketua DPR RI Setya Novanto. (Foto: Kompas) |
MEJAHIJAU.NET, Jakarta - Perhimpunan Advokat Pembela Komisi Pemberantasan Korupsi (PAP-KPK) melaporkan Ketua DPR RI Setya Novanto, dan dua pengacaranya, juga Sekjen DPR RI, ke Bidang Pengaduan Masyarakat KPK, Senin, 13 November 2017.
Keempatnya dilaporkan karena dinilai menghalang-halangi upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK.
Novanto sendiri, telah tiga kali dipanggil KPK untuk dimintai keteranganya sebagai saksi dengan tersangka Anang Sugiana Sudiharjo (Dirut PT Quadran Solution) dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan KTP-e.
Sedangkan dua pengacaranya, Fredrich Yunadi dan Sandy Kurniawan, dilaporkn karena menyatakan KPK tidak berhak memanggil dan memeriksa Novanto jika tidak ada izin dar Presiden. Kedua kuasa hukum Novanto itu pun mengatakan kalau KPK memilik motif poltik atas diri klienya.
Begitu pula halnya dengan (Plt) Sekjen DPR RI Damayanti, dilaporkan karena mempersulit pemanggilan atas diri Novanto.
"Kami menilai, berbagai manuver atau alasan yang disampaikan oleh Setya Novanto, atau oleh pengacaranya, atau oleh Sekjen DPR, langkah-langkah yang diambil terkait dengan panggilan KPK ini sudah sampai pada tingkat sengaja untuk menghambat (penyidikan kasus korupsi KTP-e)," kata salah satu advokat PAP-KPK, Petrus Selestinus, di gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Senin, (13/11).
Kempatnya dilaporkan dengan sangkaan Pasal 21 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 5 dan Pasal 20 UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Petrus berharap, KPK memeriotaskan laporan mereka, agar ke depan jangan sampai ada pihak-pihak yang mencoba-coba menghlangi upaya-upya pemberantasan korupsi di negeri ini, tegasnya.
Terpisah, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD mengatakan KPK dapat menjemput paksa Novanto, bila yang bersangkutan menolak untuk datang.
Menurut dia, merujuk Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) Pasal 245 ayat 3 butir c menyatakan bahwa untuk kasus pidana khusus, pemeriksaan terhadap anggota DPR tidak perlu izin presiden.
"Tidak harus izin, bisa langsung diambil. Tapi ya tidak sampai ke sana, untuk apa dijemput paksa, biasa aja dateng kok," kata Mahfud di Jogyakarta, seperti dikutip Antara, Senin, (13/11).
Menurut Mahfud, saat Setya Novanto menang praperadilan, pada dasarnya memang sangat memungkinkan untuk ditersangkakan kembali karena saat itu dua alat bukti sudah mencukupi.
Seperti diketahui, Novanto memenangkan Praperadilan, dan hakim tunggal PN Jakarta Selatan, Cepi Iskandar menyatakan penetapan status tersangka Novanto oleh KPK tidak sah, dan status tersebut pun rontok oleh palu Cepi.
Namun demikian, KPK kembali menetapkan Novanto sebagai tersangka, juga dalam kasus yang sama yaitu pada kasus dugaan korupsi proyek KTP-e, yang telah merugikan keuangan negara sebanyak Rp5,9 triliun.
"Setelah proses penyelidikan dan terdapat bukti permulaan yang cukup dan melakukan gelar perkara akhir Oktober 2017, KPK menerbitkan surat perintah penyidikan pada 31 Oktober 2017 atas nama tersangka SN, anggota DPR RI," kata Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, di gedung KPK, seperti dilansir Kompas, Jumat, (10/11).
.mar/me
Keempatnya dilaporkan karena dinilai menghalang-halangi upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK.
Novanto sendiri, telah tiga kali dipanggil KPK untuk dimintai keteranganya sebagai saksi dengan tersangka Anang Sugiana Sudiharjo (Dirut PT Quadran Solution) dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan KTP-e.
Sedangkan dua pengacaranya, Fredrich Yunadi dan Sandy Kurniawan, dilaporkn karena menyatakan KPK tidak berhak memanggil dan memeriksa Novanto jika tidak ada izin dar Presiden. Kedua kuasa hukum Novanto itu pun mengatakan kalau KPK memilik motif poltik atas diri klienya.
Begitu pula halnya dengan (Plt) Sekjen DPR RI Damayanti, dilaporkan karena mempersulit pemanggilan atas diri Novanto.
"Kami menilai, berbagai manuver atau alasan yang disampaikan oleh Setya Novanto, atau oleh pengacaranya, atau oleh Sekjen DPR, langkah-langkah yang diambil terkait dengan panggilan KPK ini sudah sampai pada tingkat sengaja untuk menghambat (penyidikan kasus korupsi KTP-e)," kata salah satu advokat PAP-KPK, Petrus Selestinus, di gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Senin, (13/11).
Kempatnya dilaporkan dengan sangkaan Pasal 21 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 5 dan Pasal 20 UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Petrus berharap, KPK memeriotaskan laporan mereka, agar ke depan jangan sampai ada pihak-pihak yang mencoba-coba menghlangi upaya-upya pemberantasan korupsi di negeri ini, tegasnya.
Terpisah, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD mengatakan KPK dapat menjemput paksa Novanto, bila yang bersangkutan menolak untuk datang.
Menurut dia, merujuk Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) Pasal 245 ayat 3 butir c menyatakan bahwa untuk kasus pidana khusus, pemeriksaan terhadap anggota DPR tidak perlu izin presiden.
"Tidak harus izin, bisa langsung diambil. Tapi ya tidak sampai ke sana, untuk apa dijemput paksa, biasa aja dateng kok," kata Mahfud di Jogyakarta, seperti dikutip Antara, Senin, (13/11).
Menurut Mahfud, saat Setya Novanto menang praperadilan, pada dasarnya memang sangat memungkinkan untuk ditersangkakan kembali karena saat itu dua alat bukti sudah mencukupi.
Seperti diketahui, Novanto memenangkan Praperadilan, dan hakim tunggal PN Jakarta Selatan, Cepi Iskandar menyatakan penetapan status tersangka Novanto oleh KPK tidak sah, dan status tersebut pun rontok oleh palu Cepi.
Namun demikian, KPK kembali menetapkan Novanto sebagai tersangka, juga dalam kasus yang sama yaitu pada kasus dugaan korupsi proyek KTP-e, yang telah merugikan keuangan negara sebanyak Rp5,9 triliun.
"Setelah proses penyelidikan dan terdapat bukti permulaan yang cukup dan melakukan gelar perkara akhir Oktober 2017, KPK menerbitkan surat perintah penyidikan pada 31 Oktober 2017 atas nama tersangka SN, anggota DPR RI," kata Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, di gedung KPK, seperti dilansir Kompas, Jumat, (10/11).
.mar/me