Advertisement
BANJAR: Ormas Kota Banjar, yang terdiri dari Satkorcab Banser Kota Banjar, Ikatan Putra Nahdlatul Ulama (IPNU), Ikatan Putra Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) dan BOBOTOH, dengan ini mendesak Jajaran Polres Banjar, untuk menindak tegas Pelaku Hoak, dan Ujaran Kebencian, yang nyata-nyata telah meresahkan masyarakat Kota Banjar.
Sebelumnya kami sampaikan, bahwa pada hari Rabu 09 September 2020 PC GP. Ansor Kota Banjar, telah membuat Laporan Kepolisian (LP), pada Kepolisian Resort Kota Banjar, atas dugaan perbuatan Ujaran Kebencian, yang dilakukan oleh akun FB atas nama MG, yang dengan sengaja telah menyebarkan/membagikan postingan, yang berisikan ujaran kebencian.
Perbuatan MG, dilakukan dengan cara menyebarkan/membagikan postingan, atas nama akun yang mengatakan "Herder herder peliharaan istana..." yg dibawahnya dimuat photo-photo yang salah satunya terdapat Ketua Umum PP GP ANSOR Yaqut Cholil Qoumas.
Selanjutnya pada Tanggal 20 September 2020, segenap Pengurus dan Kader PC. GP. Ansor Kota Banjar, yang disertai dengan Wakil Ketua LBH GP. Ansor Jawa Barat Andi Ibnu Hadi, S.H., M.H., telah menemui Kasat Serse Kota Banjar, guna mengkonfirmasi tindak lanjut pengaduan Kepolisian sebagaimana tersebut diatas.
Dalam pertemuan tersebut didapatkan informasi bahwa proses hukum ditangguhkan, karena atas permintaan Ketua PC. GP. Ansor Kota Banjar.
Pada awalnya Kasat Serse Polres Banjar, menyampaikan bahwa tindak Pidana yang dilaporkan adalah delik aduan, karena perbuatan tersebut adalah fitnah, sehingga perkara tersebut tidak dapat ditindak lanjuti, karena sudah dicabut oleh pelapor.
Namun hal tersebut dibantah oleh Muhtar Sekertaris PC. GP. Ansor Kota Banjar, bahwa sesuai arahan Kasat Serse, tindak pidana yang kami laporkan bukan perbuatan fitnah, tetapi ujaran kebencian, dan penyebaran berita bohong (hoax), dan saat itu Kasat Serse Kota Banjar, memperlihatkan beberapa surat undangan sebagai bukti perkara tersebut pada awalnya akan ditindak lanjuti.
Berdasarkan hal-hal di atas kami melihat bahwa Polres Banjar, tidak memiliki ketegasan akan menindak lanjuti perkara tersebut, bahkan terkesan akan mengesampingkan perkara tersebut, karena secara lisan telah dicabut oleh Supriyanto, sebagai Pelapor yang telah mengatasnamakan Ketua PC. GP. Ansor Kota Banjar.
Sejatinya pencabutan laporan lisan tersebut bukan keputusan PC. GP. Ansor Banjar, melaikan keputusan pribadi saudara Supriyanto.
Kami memandang perbuatan Supriyanto, yang telah mengambil keputusan sepihak tersebut disebabkan adanya tekanan dari sejumlah organisasi yang mendukung terlepor.
Penekanan sejumlah Ormas terhadap Supriyanto, untuk mencabut laporan Polisi tersebut dilakukan dengan cara mendatangi Supriyanto, dirumahnya pada hari Jumaat Tanggal 11 September 2020, dan pada saat itu Supriyanto, dipaksa untuk mencabut laporannya.
Penekanan terhadap Supriyanto, untuk mencabut laporan juga dilakukan oleh sejumlah Ormas di rumah KW, sehingga keesokan harinya Surpiyanto, menyatakan kepada pengurus PC. GP. Ansor, lainnya untuk mundur dari kasus tersebut.
Dari peristiwa tersebut di atas tergambar bahwa perbuatan Supriyanto, yang telah mencabut Laporan, atau Pengaduan Polisi adalah karena adanya daya paksa, atau Overmacht.
Batasan ruang lingkup berlakunya overmacht, R. Sugandhi, S.H. dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya mengatakan bahwa kalimat “karena pengaruh daya paksa” harus diartikan, baik pengaruh daya paksaan batin, maupun lahir, rohani, maupun jasmani.
Selanjutnya tentang daya paksa ini diatur dalam pasal 48 KUHP yang menyatakan: “Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dapat dipidana”. Dengan demikian bahwa perbuatan Supriyanto, yang mencabut laporan lisan karena jelas, dan nyata, disebabkan adanya paksaan dari pihak Terlapor adalah hal yang harus dikesampingkan mengingat hal tersebut tidak dapat dikualifisir sebagai perbuatan hukum yang sempurna.
Selain daripada itu, bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh terduga MG, dengan cara menyebarkan/membagikan postingan yang berisikan ujaran kebencian, atau permusuhan, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi, dan Transaksi Elektronik, sebagaimana juncto Pasal 45A ayat (2) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016, tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi, dan Transaksi Elektronik, merupakan Delik biasa (Gewone Delicten).
Drs. P.A.F. Lamintang, dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (hal. 217-218) memberi pengertian delik aduan, dan delik biasa, adalah sebagai berikut; “Delik aduan merupakan tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan.
Sedangkan delik biasa adalah tindak pidana yang dapat dituntut tanpa diperlukan adanya suatu pengaduan.”
Bahwa perbuatan MG, yang telah menyebarkan postingan akun atas nama Abu FuArt yang berisikan kata-kata “Herder-herder peliharaan Istana ini kalo dah berkeliaran # (hastag) pasti merek menyudutkan para ulama” dengan dibubuhi poto-poto yang diantaranya dalah poto Yaqut Cholil Qoumas, adalah tindak delik pidana biasa bukan tidak umum.
Kalimat dalam postingan tersebut yang menyebutkan “menyudutkan para ulama” jelas merupakan salah satu unsur dalam rumusan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi, dan Transaksi Elektronik, sebagaimana juncto Pasal 45A ayat (2) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016,tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi, dan Transaksi Elektronik.
Dalam Pasal 45A ayat (2) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan, atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi, dan Transaksi Elektronik dinyatakan, “Setiap Orang yang dengan sengaja, dan tanpa hak, menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian, atau permusuhan individu, dan/atau kelompok, masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (Enam) Tahun, dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.”.
Kalimat dalam postingan tersebut yang menyatakan “Menyudutkan Para Ulama” secara nyata merupakan salah satu unsur dalam pasal tersebut diatas tentang perbuatan subjek hukum dalam “menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian, atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA”).
Sementara itu Pengertian ulama dimaksud dalam pasal tersebut adalah pemuka agama, atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama, maupun masalah sehari-hari yang diperlukan, baik dari sisi keagamaan, maupun sosial kemasyarakatan (https://id.wikipedia.org/wiki/Ulama).
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas:
“Dengan ini kami sejumlah Organisasi Masyarakat Kota Banjar, dengan ini menuntut Kepolisian Resort Kota Banjar, untuk menindak secara hukum MG, yang secara jelas, dan nyata telah rasa kebencian, dan permusuhan.”